Yang suka denger music dari TraxFM Klik disini

Selasa, Januari 31, 2012

HILANG

Panorama pantai Cilincing di sore hari terasa indah. Hembusan angin yang sepoi-sepoi melenakan siapa saja. Matahari tampak malu-malu bergulir di bibir cakrawala lalu meluncur anggun mencium permukaan laut. Detik berganti menit dan menit terus berjalan, perlahan-lahan laut mulai menghitam. Perlahan namun pasti bola matahari itu terbenam. Ruas cahaya terakhir yang dipancarkannya membiaskan sapuan jingga ke langit. Menciptakan panorama yang memancing desah kagum bagi siapa saja yang melihatnya.

Tidak jauh dari bibir pantai Cilincing, ada sebuah Pura. Sebuah pura megah yang berdiri dan menjadi saksi bisu kemesraan yang setiap hari dilukiskan oleh laut dan matahari. Nikita membenamkan tubuhnya dalam pelukan mesra kekasihnya. Willy hanya membelai mesra rambut hitam Nikita yang diterpa angin.

Dalam naungan cuaca yang mulai meredup. Ketika kegelapan yang samar mulai menyapa, mereka semakin mesra.

“Seperti matahari dalam pelukan laut,” bisik Nikita terharu. “Kita tak akan saling melepaskan meski apa pun yang terjadi.”

Willy menggenggam erat tangan Nikita. Seakan ingin menyimpan dan mengabadikannya dalam relung hatinya yang paling dalam. Detik berikutnya, Willy memandang wajah kekasihnya dengan penuh kasih sayang. Meski kegelapan mulai menyapa namun itu tak mampu melenyapkan pancaran keindahan wajah Nikita. Rambutnya yang tergerai bebas melewati bahu, kusut dibelai angin senja, menebarkan keharuman yang menggoda. Sementara desah nafasnya yang hangat, aroma tubuhnya yang semerbak, membuatnya tak pernah bosan walaupun mereka selalu bergelimang dalam madu kasih.

Nikita tidak ingin kehilangan Willy. Kalau boleh memilih, dia ingin berada disamping Willy untuk selama-lamanya.

Namun dorongan gelombang cinta yang demikian besar, memaksanya meraih pilihan lain. Karena dia sadar, cinta selalu memberi. Bukan meminta. Menuntut. Menguasai.

“Akan ada seorang gadis yang akan datang menggantikanku, sayang,” bisiknya lembut di antara desau angin yang menerpa. “Aku berjanji akan mengirimkannya untukmu. Untuk mendampingimu. Mencintaimu. Seorang gadis yang sepertiku bahkan lebih. Yang disediakan Tuhan untukmu.”

“Tidak,” Willy menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibirnya menahan tangis. “Tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan tempatmu di hatiku.”

Willy menaruh seraut wajah Nikita di antara kedua belah tangannya. Seolah-olah dia menimang sebentuk piala berlian yang sangat berharga.

“Dia akan terbit seperti matahari esok pagi,” gumam Nikita halus. “Setelah malam yang gelap, dia akan merekah di bibir cakrawala. Begitu kamu melihatnya, kamu tahu aku yang mengirimkannya untukmu.”

Dari kejauhan, anak-anak jalanan yang memakai baju bertuliskan HOME (house of mercy)  lagi lesehan di pantai bernyanyi sambil bermain gitar. Senandung lagu lembut yang mampu menggetarkan hati Willy.

Sejak Ia pergi dari hidupku ku merasa sepi dia tinggalkan ku sendiri

tanpa satu yang pasti aku tak tau harus bagaimana aku merasa tiada berkawan selain dirimu selain cintamu

Kirim aku malaikatmu biar jadi kawan hidupku dan tunjukan jalan yang memang kau pilihkan untukku

Kirim aku malaikatmu karena ku sepi berada di sini dan di dunia ini aku tak mau sendiri

tanpa terasa aku teteskan air mata ini yang tiada berhenti mengiringi kisah di hati

(Aku tak mau sendiri- BCL)

………………….

Willy terbangun dari tidurnya. Ia mengatur nafasnya. Mimpinya seolah-olah nyata. Sudah 12 malam berturut-turut dia memimpikan Nikita kekasihnya yang telah meninggalkannya karena kecelakaan. Willy bangkit dan meraih gunting kuku yang sudah dipersiapkannya untuk diberikan tepat ULTAH Nikita yang ke tujuh belas. Gunting kuku manis yang sengaja dipesannya. Gunting kuku yang bertuliskan namanya dan Nikita. Kenangan yang akan selalu tersimpan dihatinya adalah saat-saat dimana NIkita memotong kukunya yang panjang. Tiba-tiba blackberry barunya berbunyi. Ada pesan yang masuk. Di raihnya BB yang tergeletak tidak jauh dari tangannya. Dengan mata yang berat  dibacanya sebuah pesan dari some one.

“Cinta baru sempurna jika terasa menyayat, seperti segumpal tanah liat yang akan baru tampil indah setelah dipahat. Cinta menjadi abadi jika tak terjangkau. Ibarat bumi selalu mengitari matahari. Karena tak mampu meraihnya, selamanya menjadi bayangan yang tak terengkuh….Ditinggalkan jauh lebih menyakitkan daripada diputuskan. Namun lebih menyakitkan lagi ketika kita tidak mengerti bahwa terkadang Tuhan izinkan kita kehilangan seseorang untuk kebaikan kita sendiri….. Kehilangan akan membuat kita merasa rapuh tapi disisi lain kehilangan bisa membuat kita tegar.

Tetapi sesuatu Yang hilang belum tentu meninggalkan kekosongan, karena jejak-jejak yang ditinggalkannya tak pernah benar-benar hilang.Maka, mari belajar untuk mencintai kehilangan itu, karena ia adalah bagian alamiah dari hidup. Kehilangan membuat banyak pelajaran dan pengalaman baru buat kita kita dapat menerima dengan baik proses itu, menerima diri kita sendiri, kata orang bijak, manusia tak memiliki apa-apa kecuali pengalaman hidup. Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan ketika kita kehilanga, Kemenangan hidup bukan berhasil mendapat banyak, tetapi ada pada kemampuan menikmati apa yang didapat tanpa menguasai. Pelajaran dari beberapa kehilangan, bahwa dalam setiap kehilangan ada pembelajaran yang membuat jiwa makin dewasa. Atau mungkin menjadi sebuah proses lepasnya sebuah ego dalam diri. Di saat kehilangan, kita jadi meringkuk seperti bayi yang tak punya kuasa. Menyadari bahwa sekuat apapun jiwa dan diri, setiap hidup tak pernah lepas dari kehilangan. Bahwa cerita di dunia ini bukan hanya celoteh kita, tapi ada celoteh lain yang harus didengarkan, dipenuhi dan dijalankan. Tak lain demi harmonisasi.“

Willy memejamkan matanya. Air matanya jatuh tak tertahan. Kini dia menyadari kehilangan bukan segala-galanya.

………………………

SAHABAT

Bayangkan ku melayang Seluruh nafasku terbang Bayangkan ku menghilang Semua tanpa mu teman Bila nafasku lepas Semua langkahnya lelah Semua waktu yang hilang Tapi bayangmu tetap Ingat ’kan aku semua, wahai sahabat Kita untuk selamanya, . Dari ruang kamar gua terdengar lagu “sahabat” milik Peterpan.

Dulu gua suka banget sama lagu ini tapi sekarang sepertinya ngga berarti lagi. Dulu lagu ini lagu yang sering gua nyanyikan ketika bergadang dengannya. Lagu tema persahabatan antara gua dan Budi. Sebenarnya kami memiliki begitu banyak perbedaan namun perbedaan itulah yang sering menyatukan antara kami berdua.
Seringkali kami beradu argumentasi hanya hal-hal yang sepele. Tapi itulah kami berdua.
Namun semuanya menjadi berubah setelah gua menangkap basah Budi berjalan berduaan dengan evi, kekasih gua.Benar-benar menyebalkan. Gua benar-benar marah semarah marahnya. Gua ngga pernah menyangka sama sekali kalau sahabat yang selama ini gua percaya tega banget melukai perasaan gua. Tapi sekarang semuanya berubah. Buat yang pernah dikhianati oleh sahabat sendiri, pasti tahu gimana perasaan gua.

Mulai detik ini juga, juga gua memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan Budi! Sms dan telpon darinya gua cuekin. Gua mencoba untuk melupakan saja persahabatan kami. Untuk apa bersahabat dengan orang yang modelnya kayak Budi. Gua menyesal terlalu percaya sama dia. Gua malu pernah memperkenalkan ke semua orang kalau Budi adalah sahabat terbaik yang pernah gua punya.
Semua rahasia dalam hidup gua, gua ceritakan ke dia. Dan hanya loe yang tau. Ngga ada yang gua tutup-tutupi darinya. Ternyata muka polos budi yang penuh dengan senyuman manis ngga ada bedanya dengan pejabat korup. Bahkan mungkin lebih parah.

Namun nasi telah menjadi bubur. Gua ngga mungkin bisa mendelete semua memori tentang rahasia gua yang pernah gua ceritain ke Budi. Satu lagi, ngga ada pintu maaf untuknya. Pintu maaf itu telah tertutup rapat. Terkunci dan kuncinya telah gua buang ke lautan kebenciaan. Ternyata gua salah menilainya meski kami sudah bersahabat sejak masih duduk di bangku SD.

Tapi malam ini diantara dinginnya tembok kamar dan sepinya malam, kok gua bisa tiba-tiba memikirkan Budi? OMG! Apa gua udah gila? Atau jangan-jangan, gua dipelet sama dia?
Terakhir kali Budi sempat nelpon gua dan ngomong “kok loe berubah? Kenapa loe selalu menghindar dari gua? Loe ada masalah ya? Apa yang bisa gua bantu?”

Gua langsung memutuskan pembicaraan hari itu dengan satu kalimat, “jangan ganggu gua lagi!”
Gua harus mengakui kalau Budi orang terbaik yang pernah menjadi sahabat gua. Tapi itu dulu, sebelum kejadian itu…..
Gua ngga pernah menyangka kalau Budi bisa berduaan dan smsan dengan orang yang gua cintai. Dan dia sendiri tahu betapa gua mencintai evi. Gua benar-benar cinta mati dengan dia!!! budi tahu gimana perasaan gua, saat gua tahu itu semua? Hati gua hancur berkeping-keping. Remuk! Selamat buat Budi yang telah menghancurkan hati gua.
Diantara emosi gua yang meledak-ledak, tiba-tiba ada message yang masuk di blackberry gua.

Gua mengucek mata gua berkali-kali sambil memperhatikan baik-baik abjad yang tersusun di layar Blackberry gua. Message dari pacar gua, EVI.
Tanpa berpikir panjang gua langsung nelpon dia.
“Maksud message loe apa? Gua ngga ngerti?
“Ya ampun! Sayang, aku itu smsan sama Budi karena aku mau cari tahu barang yang kamu paling dambakan tapi belum kamu miliki. Kamukan ngga pernah mau cerita tentang hal itu sama aku. Makanya aku tanya dia, siapa tahu saja sahabat kamu itu tahu. Eh, ternyata benar, dia tahu! Apa lagi dia ngerti selera kamu. Makanya aku minta tolong sama dia. Aku hanya mau ngasih kejutan yang bisa berkesan buat rayain satu tahun kita jadiaan. Ngga lebih dan ngga kurang dari itu.”
Tenggorokan gua rasanya kering. Gua mendadak ngga punya tenaga. Blackberry terlepas dari tangan gua. Gua ngga memperdulikan lagi suara kekasihku di seberang telpon sana. Ya Tuhan, ternyata ini semuanya hanya masalah salah paham! Gua benar-benar jahat. Ngga satu pun permintaan maafnya via sms gua balas dan gua ngga menggubris secuil pun. Dan semuanya berakar dari diri gua sendiri. Gua benar-benar egois. Ego gua telah membutakan mata hati dan pikiran gua.

Persahabatan kami menjadi korban atas ego gua. Emosi yang meledak-ledak dan cemburu buta yang menyerang membuat gua ngga bisa berpikir dengan sehat untuk memberikan kesempatan dia mejelaskan semuanya.
Seribu penyesalan menghantui kepala gua.
“Gua harus minta maaf…” kata gua kepada Chimol dan Alsel yang lagi nongkrong di kamar gua.
“Maaf? Ngapain juga? Ntar ngga lama lagi normal juga tuh!” ucap Chimol.
“Mesti minta maaf. Semuanya masih bisa diperbaiki kok!” pendapat Alsel.
“Untuk apa minta maaf? Malu-maluin aja! Kalau dia ngga mau maafin gimana? Mau simpan dimana tuh muka loe?” tanya Chimol.

Ahhhhh….kedua teman kampus gua beragumentasi dengan opini mereka masing-masing.
Entah apa yang mendorong gua sehingga gua meraih blackberry gua dan mengirim message ke Budi, “Maaf ya! Selama ini gua ternyata salah. Gua salah paham sama loe!”

Di saatku butuh dirimu Ku inginkan kau disisiku Saat kau perlukan hadirku Ku janjikan ada untukmu
Jangan pernah ‘tuk menghilang
Ku nantikan saat bersama Penuh cerita dan ceria Redakan beban yang terasa Memberi warna dalam jiwa
Ku akan selalu berjanji Untuk segera sampai nanti Kan selalu ada untukmu temani harimu
Jangan pernah ‘tuk menghilang Karena kaulah sahabatku
Berjanjilah tak meninggalkanku Dan janjilah kau tak melupakanku nanti Dan kita harus selalu menjaga Arti dari sebuah persahabatan kita ini
Jangan pernah ‘tuk menghilang
Jangan pernah ‘tuk menghilang Karna kaulah sahabatku
Gua menunggu balasan messagenya sambil mendengarkan lagu “sahabat” miliknya Garasi. Namun waktu terus berjalan dan dia ngga membalas message gua! Apa dia marah? Apa dia ngga mau maafin gua? Apa dia sudah benar-benar ngga menganggap gua sebagai sahabatnya lagi?
“Benarkan? Malu-maluin aja! Dia ngga maafin loe,” ucap Chimol sambil menatap gua.
“Positif thingking! Mungkin dia sudah tidur! Atau kehabisan pulsa,” timpal Alsel.
Gua terlelap dalam kelelahan sampai ada suara….
“Tok…Tok…Tok…” Seseorang mengetuk pintu kamar gua.
“Siapa?” gua bertanya dengan malas dan dengan rasa kantuk yang masih menyerang gua.
“Budi…”
What?!!! Itu suara dia! Ngapain dia pagi-pagi buta ke sini?
Suara ketukan pintu kamar gua terus bertubi-tubi kedengaran. Gua bangkit berdiri dan membuka pintu.
“Ngapain loe ke sini?”
“Lutfi…Gua minta maaf kalau gua salah. Loe harus dengar dulu penjelasan gua…”
“Bodoh amat!” teriak gua lalu membanting pintu dan mengkuncinya. Gua malas berurusan sama orang kayak gitu. Hufff!!!!
Suara keras gua membangunkan Chimol dan Alsel yang kemudian pamit pulang menyusul kepergian Budi.
Diantara heningnya pagi terdengar suara langkah kaki sahabat-sahabat gua menuruni tangga. Langkah kaki yang ngga bersemangat. Gua beringsut menuju ke tempat tidur gua. Gua melihat sekilar Blackberry gua. Ada beberapa missed call dari dia dan satu sms dari Budi juga.
“Kawan…Maaf semalam gua nginap di rumah Achonk dan lupa bawa hp. Gua minta maaf! Gua ngga ada maksud sama sekali untuk merebut Evi dari loe. Loe sahabat gua. Gua ngga mungkin mengkhianati persahabatan kita. Evi hanya minta tolong agar gua bantu dia untuk mencari barang yang kamu idamkan. Hanya itu. Sorry kalau gua ngga bilang-bilang ke loe karena Evi melarangnya!”
Gua melihat ke jendela kamar. Budi telah pergi dengan motor kesayangannya di antara gerimis pagi yang membasahi bumi.

Kali ini gua melakukan kesalahan lagi hanya karena gua menuruti kemarahan dan kecemburuan gua sendiri. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat? Tapi bukan penyesalan namanya kalo datangnya diawal. Gua sebenarnya marah karena dia ngga membalas sms gua semalam. Dan, lagi-lagi gua ngga memberikannya kesempatan untuk memberi penjelasan. Gua menjatuhkan penghakiman sendiri tanpa mendengar pembelaannya. Adilkah ini baginya?
Gua lagi-lagi meminta pendapat Chomol dan Alsel
“Ngga usah!” komentar Chimol.
“Loe ngga salah apa-apa kok. Salah dia sendiri, kenapa sampe lupa bawa hpnya?” Lanjutnya kemudian via mesage di blackberry.
“Ngga ada kata terlambat. Tapi meski pun itu terlambat. Itu jauh lebih baik dari pada sama sekali ngga! Loe harus minta maaf!” pendapat Alsel yang bertolak belakang dengan pendapat Chimol.
“Jangan! Gengsi dong! Masa loe terus yang harus minta maaf?”
Lagi-lagi dan lagi-lagi gua ngga mendapatkan solusi apa-apa dari mereka berdua. Beradu argumentasi tanpa hentinya.
Sejam kemudian, gua menelponnya dan lagi-lagi dia ngga mengangkatnya. Tepatnya handphonenya ngga aktif. Gua putus asa setelah berkali-kali gagal menghubunginya. Gua merebahkan diri gua di kasur. Gua mengurung diri gua di kamar sepanjang hari. Gua ngga memiliki gairah dan semangat hari ini.
Gua memperhatikan semua foto gua yang menghiasi kamar. Foto hasil jepretan Aron. Katanya, foto gua adalah foto cowok terimut sejagad raya. Dia emang fotografer yang handal dan gua model yang tepat untuknya. Apa lagi gua orang sangat narsis. Itulah yang membuat kami semakin dekat dari dulu sampai sebelum peristiwa ini.
Menjelang malam, pembantu gua masuk ke kamar gua dengan sebuah bingkisan. Dengan hati-hati gua membuka bingkisan itu setelah pembantu gua pergi meninggalkan gua sendiri. Gua berharap itu dari sahabat gua, Budi. Tapi ternyata dari Evi, kekasih gua.

Astaga! Iphone idaman gua! Iphone keluaran terbaru yang selama ini gua idam-idamkan. Setiap kali gua ke mal, gua suka melihat harganya. Gua berharap harganya turun drastis atau ada diskon 50% agar gua bisa memiliki iphone itu. Setiap lomba yang hadiahnya adalah iphone itu, pasti gua ikut meski gagal melulu. Uang tabungan gua ngga pernah cukup untuk membelinya. Dan…Hanya Budi yang tahu kalau gua pengen banget memiliki iphone itu. Sama seperti pertama kali gua cerita sama dia, bahwa gua cinta mati sama Evi.
Diantara rasa senang, terlintas wajah Budi. Entah dimana dia sekarang? Gua ingin membagi kebahagiaan ini bersamanya. Gua ingin bilang, “Budi…Akhirnya gua dapetin juga Iphone ultra 4G, idaman gua!”
Ingin sekali gua datang ke rumahnya untuk menemuinya. Minta maaf dan berbagi kebahagian ini. Tapi masih ada sisa kemarahan dan kecemburuan mengurung niat gua tersebut.

Seminggu berlalu… Gua melewati hari-hari yang penuh tanda tanya dan rasa kehilangan seorang sahabat. Budi tiba-tiba muncul di hadapan gua. Dia muncul di rumah gua dengan wajah yang berbeda. Tak ada senyum yang selalu dia lontarkan. Yang ada raut kesedihan.
Mulut gua terkunci rapat. Mata gua memancarkan kekagetan yang luar biasa! Kepala gua penuh dengan tanda tanya.
Dia mencoba mengukir senyuman manisnya meski gua tahu itu adalah sebuah senyuman yang agak dipaksakan. Belum sempat gua bertanya, “Ada apa dengan dirinya.” Dia langsung berbicara.
“Maaf! Gua tiba-tiba menghilang! Seminggu yang lalu nyokap gua kecelakaan . Beliau harus di rawat di rumah sakit. Gua ngga bisa menghubungi loe karena gua menjual blackberry gua untuk menutupi biaya perawatan nyokap gua selama di rumah sakit.”
Gua langsung memeluknya. Pelukan seorang sahabat.
“Seharusnya gua yang minta maaf. Loe ngga salah apa-apa. Ini semua salah gua. Gua terlalu egois.”
“Udah-udah. Jangan lama-lama pelukannya. Ntar ada wartawan. Bisa-bisa fans cewek loe semuanya pada kabur deh. Hahaha….”
Gua melepaskan pelukan itu. Gua tertawa. Seperti dulu, dia mampu membuat gua tertawa dengan banyolannya. dengan tingkahnya yang konyol.
“Eh udah dengar belum lagunya Nidji yang arti sahabat?”
“Belum,” jawab gua.
“Mau gua nyanyi atau dengar via hp gua?”
“Sebaiknya gua milih pilihan kedua deh. Hahaha…”
“Ok! Tapi kita nyanyi bareng ya?”
Gua hanya tersenyum sampai lagu itu mengalun dari handphone barunya.
tak mudah untuk kita hadapi perbedaan yang berarti tak mudah untuk kita lewati rintangan silih berganti
kau masih berdiri kita masih di sini tunjukkan pada dunia arti sahabat
kau teman sehati kita teman sejati hadapilan dunia genggam tanganku
tak mudah untuk kita sadari saling mendengarkan hati tak mudah untuk kita pahami berbagi rasa di hati
kau adalah.. tempatku membagi kisahku kau sempurna jadi bagian hidupku apapun kekuranganmu..

thanks ya yang sudah membaca,
 Follow me @LoveMusic_Jazz
Yahoo Massengger ZADAY_99

Bukan untuk ajang exis tapi gua cmang mencurahkan isi pikiran gua untuk membuat tulisan yang mungkin menurut kalian kurang menarik...  sekali lagi gua sangat makasi atas kunjungannya,,

Salam Hangat Dari ARBUJA & Om Badut

Dimanakah Letak Surga Itu

Setelah sekian lama, baru malam ini aku memimpikanmu. Saat aku terjaga, aku merindukanmu. Rasanya, semuanya baru kemarin saja kita bertemu. Aku menjadi rindu saat-saat dimana kita pernah mengukir sejarah persahabatan kita. Sejarah yang mungkin tidak akan dikenang oleh dunia. Tapi aku tetap mengenangnya. Mengenang dengan air mata.

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Kalimat ini yang selalu kamu katakan padaku. Aku bangga punya sahabat sepertimu. Kamu adalah sahabatku yang terkadang juga menjadi sosok ayah bagiku dan kamu selalu menjadi motivator, guru dan konselor pribadi bagiku.

Aku baru menyadari bukan kedekatan dan keakraban yang membuat kita bersahabat tapi hanya karena kasih. Yah… Kamu mengasihiku dan aku juga mengasihimu. Hanya ada satu kata yang meampu menggambarkan persahabatan kita yaitu kasih.

Kamu itu seperti bayanganku saja. Di mana ada aku di situ juga kamu ada. Perbedaan yang kita miliki tidak dapat menjadi benteng bagi kita untuk menjadi sahabat. Kadang aku berpikir kenapa dan mengapa seorang AAT yang pendiam, sabar, dewasa, pintar dan rapi bisa memiliki seorang sahabat yang bernama Muhammad Fakhrurozy, isengnya yang gila banget, urakan, narsis stadium tingkat tinggi dan tempramen tinggi. Aku sendiri tidak tahu, kapan dan di mana kita pertama kali menjadi sahabat.

Mungkin persamaan yang kita miliki hanya ada dua yaitu kita sama-sama ganteng dan memiliki banyak penggemar wanita. Ha…ha…ha…ha… Bukan satu kebetulan Tuhan mempertemukan kita. Kita bisa saling mengenal dan mengisi setiap lubang-lubang kelemahan yang kita miliki dengan hal-hal yang membangun. Dulu kita sering bertiga, namun kita hanya berdua setelah Rico Sanjaya meninggal dunia karena kecelakaan.

Aku masih ingat sewaktu aku bolos di jam pelajarannya Ibu Tiffany yang anak-anak juluki si Mrs. Killer. Kamu ikut-ikutan bolos juga waktu itu.

“Aat, loe ngga usah ikut-ikutan bolos kayak gua!”

Kamu menatapku dengan tajam seperti rajawali yang memantau mangsanya begitu mendengar ucapanku waktu itu.

“Loe tau ngga, kenapa gua ikutan bolos? Dalam hidup gua, baru sekali ini gua bolos. Dan gua ngga menyesal melakukannya,” katamu dengan penuh wibawa. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala seperti anak kecil yang dimarahin orang tuanya.

“Gua takut kalau sahabat gua satu-satunya, masa depannya akan hancur!”

“Maksud loe? Gua ngga ngerti!” Aku bertanya dengan kebingungan. Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu saat itu.

“Gua ngga pengen loe melakukan sesuatu yang bisa merusak diri loe dan masa depan loe.”

“Tapi…Gua bukan anak kecil lagi!”

“Justru karena loe merasa diri loe bukan anak kecil lagi dan udah dewasa, loe akan melakukan hal-hal bodoh dan dengan seenaknya hanya dengan alasan loe bukan anak kecil lagi. Loe harus ingat, Kalau ada jalan yang disangka lurus tetapi ujungnya menuju maut. Ingat satu hal lagi, kalau jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.”

Aku merenungkan ucapanmu. Aku berpikir dan menemukan satu kebenaran dari kalimat yang kamu sampaikan padaku. Detik berikutnya aku memberikanmu sebuah senyuman termanis yang pernah aku punya. Senyuman itu hanya untuk kamu seorang. Kamu mau bungkus senyuman itu juga ngga apa-apa kok!!! He…he…he…

“Kenapa loe mau menjadi sahabat gue?” tanyaku iseng karena tidak bahan pembicaraan lagi.

“Karena tidak ada orang yang mau menjadi sahabat loe. Makanya gua kasihan dan mau jadi sahabat loe.”

Aku langsung menonjok keras bahu kananmu.

“Auwww!!! Sakit tau. Kalo mukul, jangan yang keras-keras dong?”

“Kalo ngga keras tuh bukan mukul namanya tapi belaian.”

Spontan, kita berdua tertawa lepas.

“Alasan gue mau menjadi sahabat loe karena loe berharga bagi gue. Loe berharga hanya karena loe ada bukan karena apa yang loe lakukan atau apa yang telah loe lakukan tapi hanya karena diri loe sendiri apa adanya. Loe harus tau kalo loe adalah ciptaan Tuhan yang unik dan loe di ciptakan dengan sebuah tujuan.”

Sampai hari ini aku tidak tahu dari mana kamu yang masih 16 tahun menemukan kalimat itu. Tapi aku yakin itu lahir dari hati kamu yang paling dalam. Aku rindu mendengar suaramu dan mendengar setiap kata-katamu yang selalu menguatkanku. Aku tahu…Aku tidak akan pernah bisa mendengar suaramu yang berwibawa dan senyuman tipismu yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tapi aku bisa merasakan kalau kamu selalu hadir dalam setiap kerinduanku. Kayak film India aja! He…he…he.. Aku yakin sebuah persahabatan tidak di batasi oleh ruang dan waktu.
Dengan air mata yang terus mengalir aku memandangmu. Aku memegang tanganmu karena aku takut kamu pergi meninggalkanku. Inilah pertama kalinya aku merasakan ketakutan ketika berada di sisimu. Aku benar-benar seperti anak kecil yang takut di tinggalkan ibunya.

“Kenapa loe menangis?” kamu bertanya dengan lemah. Kamu berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang kamu punya waktu itu hanya untuk berbicara denganku.

“Gua takut…”

Dengan cepat kamu memotong kalimatku. “Loe ngga usah takut. Ingat, keberanian adalah ketakutan yang telah mengucapkan doanya.”  (sambil tersenyum lepas)

Aku hanya bisa membayangkan saat itu, bagaimana harus menyambut sang fajar bila tidak melihat bola matamu yang lucu seperti boneka. Bukan cuma itu, siapa yang akan mentraktirku kalau aku lagi tidak punya uang? Ha…ha…ha…

“Ketika semua harapan pergi dan impian hilang bersama dengan hati loe yang kosong, loe harus ingat Tuhan akan berbicara melalui kesunyian bahwa “kamu tidak sendirian”. Ejekan hidup akan selalu ada. Sahabat terbaik loe menanti di dekat loe kalo saja loe butuh pertolongan. Itu bukan gue tapi Dia adalah TUHAN Yang Maha Hadir. AAT… Gua mau besok loe mengambil surat yang gue titip di nyokap gue.” Katamu lemah kalau tersenyum tipis. Detik be
rikutnya senyumanmu menghilang bersama dengan pejaman matamu.

“Aat!!!!!” Aku berteriak keras saat menyadari kamu sudah pergi selama-lamanya karena leukemia yang bersarang di tubuhmu.
“Loe ngga boleh pergi. Besok gue ulang tahun. Gue kan udah janji potongan pertama kue ulang tahun gue buat loe.”
Tidak ada yang bisa membendung isakan air mata dan teriakan histerisku. Hanya yang pernah mengalami kehilangan orang terdekat yang bisa memahami dan mengerti rasa “hilang” itu. Sampai hari ini, aku masih merasa kehilanganmu, sahabat.
Aku masih ingat satu kejadian di futsal sekolah.

Kamu bergegas menghampiri aku yang sibuk juggling bola sendirian di pinngir gawang.

“Ozy…Loe naksir Shella kan?” kamu bertanya setelah mendekatiku.

“Loe tau dari mana? Ngaco loe…”

“Mau tau aja. Pokoknya Ada deh!”

“Ha…ha…ha… Sembarangan aja loe. Jangan bikin gosip. Ntar fans-fans gua pada kabur semua.”

Kamu langsung cengar-cengir lalu merampas bola itu dari kaki ku dan menjuggling bola.

“Gua ngga marah kok kalau loe jujur dan mau ngaku. Menurut gua tuh anak emang cakep. Pantas aja di jadi kembang sekolah. Ha…ha… ha… Udah gitu gaul, baik dan bertalenta lagi. Satu lagi, dia suka nulis kayak loe tuh. Kayaknya dia cocok buat loe.”

Aku hanya diam.

“Loe mau ngga jadian ama Shella?” kamu bertanya degan tegas.

“Jadian? Yang benar aja! Loe jangan asal ngomong! Dia mah hanya sekadar teman sekelas aja.”

“Hei… Loe napa sih? Kok loe ngga mau jadian ama Shella. Tenang aja, gua bisa comblangin loe ama dia.”

“Aat! Gua kenal loe bukan kemaren. Kita udah saling kenal sejak TK. Gua tau kalo loe juga naksir Shella kan?”

Kedua bola matamu menatapku dengan pandangan yang penuh keheranan dan takjub.

Bel sekolah berbunyi dan membuat anak-anak yang berada di lapangan segera membubarkan diri.

“Gua emang naksir dia sejak lama tapi gua akan mengalah buat loe.”

“Ngga! Biar gua yang ngalah!” Ucapmu.

“Yang benar aja loe?!! Kalo gitu kita tetap jomblo aja. Adilkan? Loe rugi, gue juga. Loe jomblo, gue juga.” Kataku mencoba memberi solusi.

“Ngga mau. Pokoknya, loe harus jadian ama Shella karena dia suka ama loe juga.”

Aku mentapmu. “Tapi…Bagaimana dengan loe?”

“Ngga usah dipikirin. Ntar gua ketemu juga ama bidadari yang lebih cantik di Surga!”

“Emang loe beli tangga berapa banyak buat ketemu bidadari loe di Surga sana?”

“Ha…ha…ha…”

Setelah itu aku langsung beranjak untuk meninggalkan lapangan futsal tapi dengan cepat seperti kilat kamu mengacak rambut jabrikku lalu berlari kencang. Mendapatkan perlakuan seperti itu aku langsung mengejarmu sampai masuk ke dalam kelas.

“Ingat, nanti kalo gua jadian ama Shella bukan berarti dia pacar loe juga,” bisikku di kupingmu dengan ngos-ngosan saat duduk dibangku kelas.

Aku berdiri terpaku di tengah-tengah kamarmu. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih seperti yang dulu. Tdak terasa sudah 4 tahun kamu di Surga. Sementara aku disini melewati jalan kehidupan yang panjang dan penuh dengan onak dan duri.

Aku sering bertanya, “di manakah letaknya Surga itu?” Aku ingin mengunjungimu di sana untuk melepaskan rasa rindu dan mendengar suaramu dan Rico sanjaya.

Aat… Belum ada yang bisa menggantikan posisimu dan Rico sanjaya sebagai sahabat dalam hidup ku selain Tuhan tentunya. Hari ini aku baru sempat datang ke kamarmu untuk mengambil kado ULTAH yang sudah kamu siapkan jauh-jauh hari sebelum kepergianmu. Maaf, aku tidak bisa datang saat hari ulang tahunku ke sini karena aku sibuk dengan banyak hal. Aku percaya, kamu bisa mengerti.

Pandanganku tertuju kamar mandi yang ada di sudut kamarmu. Ada satu memori yang tersimpan rapi di pikiranku.

“Ozy…Ngapain sih loe di dalam lama-lama?”

“Mandilah!”

“Kok lama banget! Buruan…”

“Sabar dikit kenapa sih?”

“Gua sih bisa sabar tapi nih perut ngga mau kompromi. Barengan aja ya? Gua udah ngga tahan nih!”

“Ngga mau!”

“Bukannnya waktu kecil kita sering mandi bareng?”

“Itu dulu. Sekarang ngga!!!!”

Dalam hitungan detik aku langsung keluar hanya dengan handuk. Dengan buru-buru aku bergegas menjauh dan kamu pun langsung masuk.

“OZY!!!!!”

“Gua ngga tuli kali. Ngga usah pake teriak.”

“Loe habis BAB, kenapa ngga di siram?”

“Loh, bukannya loe nyuruh gue buru-buru. Saking buru-burunya, gua lupa! Di siramin aja. Anggap aja itu kayak punya loe. Ha…ha…ha…”

“Arrrghhhhhh…..”

Aku menghampiri meja belajar mu dan melakukan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku mengambil sebuah amplop berwarna biru muda yang bertulikan “ULTAH KE 20″.

Aku tidak pernah berhenti berpikir untuk apa kamu menulis surat yang begitu banyak untukku? Ada yang harus aku baca saat menikah, saat putus dari pacar, saat putus asa, saat menjadi seorang suami termasuk untuk setiap ulang tahunku.

Aku membuka amplop yang sudah ada di genggaman tanganku dan membaca isinya.

To : My best friend….

Happy birthday to you!!!

Loe udah 20 tahun ya sekarang! Ingat loe bukan anak kecil lagi. Loe adalah pria yang beranjak dewasa. Gua harap loe bisa menjadi pria yang dewasa dan matang. Pria yang terus menuju kepada arah kesempurnaan meski manusia tidak ada yang sempurna. Oh…ya, Gua punya kado buat loe. Loe bisa mengambilnya di lemari biru samping lemari baju gua. Ambil yang bertuliskan “ULTAH KE 20″. Hanya itu yang bisa gua berikan buat loe. Gua yakin kado itu akan ada banyak manfaatnya. Yang pasti isinya bukan majalah playboy. Ha…Ha…Ha… Oh, ya… Selanjutnya pake kamu dan aku aja ya…. Biar enak bacanya…

OZY…

Sadarilah bahwa hidup penuh dengan kejutan – kejutan, namun banyak diantaranya begitu menyenangkan. Jika kamu menghindarinya terus menerus, kamu akan kehilangan separuh dari kegembiraannya. Harapkanlah kejutan – kejutan itu dengan penuh gairah.
Ketika kamu bertemu tantangan – tantangan, sambutlah dengan suka cita. Mereka akan membuatmu lebih bijak, lebih kuat dan lebih mampu daripada sebelumnya. Saat kamu membuat kesalahan, bersyukurlah akan pelajaran yang diajarkannya. Pahamilah pelajaran – pelajarannya dan gunakan untuk membantumu meraih impian – impian hidupmu.
Dan.. selalu patuhilah Kebenaran Tuhan. Saat kamu mengikuti Kebenarannya, hidupmu akan bertumbuh. Jika kamu pikir bisa mendapatkan lebih dengan melanggar KebenaranNya, kamu hanya membodohi dirimu sendiri.
Yang tak kalah pentingnya adalah membuat keputusan secara jelas dan pasti akan apa yang sesungguhnya benar – benar kamu inginkan dalam hidup ini. Selanjutnya biarkan pikiran dan perasaanmu fokus padanya dan lakukan usaha untuk mempersiapkan dirimu supaya layak menerimanya.
Namun bersiaplah juga untuk mengakhiri suatu masa dalam kehidupanmu untuk memasuki sebuah masa yang baru. Seperti halnya kamu tumbuh seiring waktu, kamu akan membutuhkan sepatu dengan ukuran yang lebih besar. Oleh karena itu persiapkan dirimu untuk sebuah akhir sebaik persiapanmu untuk menyongsong sebuah awal yang menantang.

OZY….

Kadang kala kita juga harus berani berjalan dari suatu keadaan yang tidak asing menuju ke wilayah – wilayah yang asing dalam hidupmu. Hidup tidak hanya tentang mencapai sebuah puncak saja. Sebagian darinya adalah tentang bergerak dari satu puncak ke puncak berikutnya. Jika kamu terlalu lama beristirahat, maka kamu akan tergoda untuk berhenti dan keluar dari permainan. Tinggalkan masa lalu di masa lalu, Dakilah gunung berikutnya dan nikmati pemandangannya.
Ketika sebuah kemarahan, dendam, keyakinan, atau sikap menjadi berat, ringankanlah bebanmu. Buang semua hal yang membuatmu emosimu dan spiritualmu terpuruk. Buang semua sikap yang menyakitkan yang memperlambat jalanmu dan membuang – buang energimu.

Ingatlah bahwa keputusan – keputusanmu akan mengakibatkan kesuksesan – kesuksesanmu atau kegagalan – kegagalanmu. Oleh karena itu pertimbangkanlah diantara jalan – jalan yang ada di depanmu dan putuskan jalan mana yang akan kau tempuh. Kemudian percayalah pada dirimu, bangkitlah dan melangkahlah.
Jangan lupa untuk berhenti sejenak. Itu akan memberimu kesempatan untuk memperbarui komitmentmu terhadap impian – impianmu dan memperbaiki persepsimu terhadap hal – hal yang terbaik bagi dirimu.
Yang paling penting dari semua itu, pantang menyerah. Seorang yang akhirnya menjadi pemenang adalah seorang yang memutuskan untuk menang. Berikan dalam kehidupanmu apa yang terbaik yang kamu bisa dan kehidupan akan memberikan kembali hal yang terbaik padamu.
Sahabatmu….
AAT. (Cahyo)

Selesai membaca surat tersebut aku langsung mencari kado yang telah kamu sediakan buatku. Dengan perlahan aku mebuka bungkusannya dan menemukan sebuah buku berjudl “ Agar menulis - mengarang bisa ganpang” dan koleksi foto kita bertiga bersama Rico sanjaya.

Aku terharu mendapatkan kado darimu. Aku akan menulis kisah-kisah tentang persahabatan kita, antara aku, kamu dan Rico sanjaya pada dunia. Biar dunia tahu kita pernah bersahabat sampai maut menjemput. Meski persahabatan kita berakhir dengan air mata duka.


Sekian,, soory kalau kata kata nya sangat sulit di pahami,, karna saya baru belajar untuk membuat cerita yang belum menarik untuk di dengar atau di lihat..

Follow me @LoveMusic_Jazz

Pelangi Terakhir Untuk Icha

Siang itu langit tidak begitu cerah karena hujan baru saja berhenti mengguyur bumi ini.
Langsung saja aku melajukan mobil jazz biru-ku keluar dari sekolah yang begitu asri meski penghuninya adalah laki-laki semua. Melintasi jalanan yang becek akibat hujan tadi.
Byaaaarrrr….

Tak sengaja aku melintasi jalanan yang ada genangan air dan air tersebut membasahi baju seorang siswi yang sedang duduk di bangku taman dekat sekolahku. Gadis itu langsung bangun dari duduknya. Sambil membersihkan bajunya yang basah dan kotor mulutnya seraya mengatakan sesuatu seperti marah-marah.
“Huh sialan ! Baju gue jadi kotor dan basah gini kan ! Hey, baru bisa bawa mobil yah ? Atau enggak punya etika berkendara yang baik ? Enggak liat apa kalo ada orang disini. Aaaaahhhh !!” maki gadis itu kepadaku.
Kakiku langsung menginjak pedal rem. Mobil berhenti tak jauh dari tempat gadis itu. Aku melirik kaca spionku, ku lihat gadis itu tampaknya marah sekali karena bajunya basah karena kecripatan air hujan yang menggenang di jalanan. Sekilas aku memperhatikan gadis itu, dia tampak manis dan lucu meski ekspresi wajahnya adalah marah. Aku akui, gadis itu memang cantik.
Tanpa mempedulikan gadis itu yang masih ngomel-ngomel, aku langsung tancap gas karena saat itu aku memang sedang terburu-buru.

***

Ohh iya, hampir saja aku lupa memperkenalkan diri. Hehehe
Namaku Aldo Ramadhan. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sekarang aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tahun ajaran terakhir. SMA Taruna Karya.
Nah, kalau gadis yang aku ceritakan di awal tadi namanya Nissa Putri Maharani. Dia adalah gadis yang periang, lucu, baik hati, ramah, juga gampang bergaul. Satu kelebihan dia adalah senyumanya yang manis yang mampu membuat hati yang melihatnya menjadi damai. Seperti saat melihat pelangi sehabis hujan.
Dan inilah ceritaku :)

***

“Hmm akhirnya sampai juga dirumah. Capeeekkk !” seraya membaringkan tubuhku di sofa empuk.
“Kok lama banget pulangnya, Do ? Kemana dulu tuh tadi ? Ngapelin cewek dulu yahh.“ ledek Kak Nanda.
“Lho Kakak ? Kok udah pulang aja, baru aku mau jemput.” Tanyaku heran melihat Kak Nanda sudah dirumah.
“Kelamaan nungguin kamu, jadi Kakak pulang aja naik taksi.”
“Yaahh maaf yah, Ka aku enggak bisa jemput Kakak di kampus. Tadi aku ada tambahan jam pelajaran, jadi pulang telat deh.”
“Iya enggak apa-apa kok. Naik ke atas sana, ganti baju terus makan.”
“Kakak udah makan ?”
“Udah tadi bareng sama Mamah.”
“Yasudah aku ganti baju dulu yah, ka. Dadaaah Kakakku sayang !” sambil mencium pipi Kakak aku langsung berlari menuju kamarku.
“Dasar Aldo nyebelin.”

***

Udara malam ini cukup dingin, memaksaku harus memakai pakaian panjang. Tugas sekolahku baru saja selesai aku kerjakan. Sekarang waktunya aku bersantai di temani lagu-lagu favoritku yang sedang mengantri di playlist MP3-ku.
Aku berbaring di kasur. Mataku memandang langit-langit kamar yang berwarna biru cerah. Tiba-tiba wajah gadis itu terlintas disana. Wajah yang manis yang membuat orang ingin menatapnya lebih lama.
“Hey, kira-kira tadi dia pulangnya gimana yah ?” tanyaku seraya merubah posisiku menjadi duduk. “Ah gue jadi merasa bersalah deh sama dia, udah bikin bajunya dia basah dan kotor gitu bukannya minta maaf ehh malah langsung pergi gitu aja. Tapi, apa yang dia lakukan disana ? Duduk sendiri sambil menatap langit. Apa dia sedang menunggu seseorang ?” tanyaku yang penasaran.

***

Di tempat yang berbeda, seorang gadis duduk di balkon kamarnya menatap langit. Langit malam ini sangat cerah, bertaburan bintang-bintang yang indah berkelip. Nampaknya malam ini hujan tidak turun meskipun udaranya cukup dingin.
“Bintangnya banyak banget malam ini. Itu artinya hujan tidak akan turun.” ujar gadis yang akrab di sapa Icha.
“Lagi ngeliatin apa sih ? Kayanya seneng banget, senyumnya sumringah gitu.” Ledek Bunda. “Perasaan tadi pulang sekolah mukanya di tekuk, bete, cemberut gara-gara bajunya basah dan kotor.”
“Ahh Bunda mah, jangan ngeledekin Icha dong !”
“Bunda enggak ngeledek kamu kok, Sayang !”
“Ehh Bun, langitnya cerah yah, bintangnya juga banyak tuh.”
“Iya, malam ini hujan tidak turun jadi bintang-bintang berkelip dengan indah menemani rembulan menyinari malam ini.” Seru Bunda mengiyakan pendapatku. “Kamu udah makan ?”
“Hmm belum, Bun. Tadi doang makannya pulang sekolah.”
“Yaudah sekarang kita makan dulu yuk. Ayah sama Dimas udah nunggu di bawah tuh.”
“Bunda turun duluan deh, aku mau beresin buku dulu buat besok.”

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua anak langsung berhamburan keluar kelas. Suasana sekolah pun ramai. Seperti biasanya, aku dan teman-temanku langsung menuju lapangan futsal untuk sparing futsal sama anak kelas yang lain.
“Ehh kalian ke lapangan duluan aja, nanti gue nyusul.” Seru Dimas membuka pembicaraan.
“Emangnya lu mau kemana, Dim ?” Tanyaku.
“Mau ke SMA sebelah. Bentar doang kok. Oke.” Seraya pergi meninggalkan anak-anak yang lain.
Tanpa sepengetahuan Dimas aku mengikutinya dari belakang. Ternyata memang benar Dimas ke SMA sebelah. Tepatnya sih menemui seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman sekolah.
Ada beberapa gadis disana. Mereka sedang bersenda gurau. Tunggu. Gadis itu bukannya yang kemarin bajunya basah dan kotor karenaku. Dimas menemui gadis itu. Ada hubungan apa Dimas dengan gadis itu ?
Ku putuskan untuk menanyakan tentang gadis itu ke Dimas sepulang sekolah nanti. Sekarang lebih baik aku balik ke lapangan futsal.

***

Cuaca siang ini tidak begitu panas karena ada awan mendung yang sedang berdiam diatas sana. Entah kapan air hujan itu akan turun kembali membasahi tanah ini.
Hari ini Dimas pulang denganku. Motornya lagi di servis di bengkel. Kebetulan arah rumahku dengannya juga searah. Sekalian aku ingin menanyakan soal gadis itu.
“Jadi balik bareng gue enggak, Dim ?”
“Jadi lah, kalo enggak jadi gue pulang naik apa !”
“Yaudah kalo gitu kita cabut sekarang aja.”
“Tapi nanti dulu masih nunggu orang.”
“Emangnya nunggu siapa lagi ?”
“Ada lah, yaudah kita tunggu di taman depan aja deh.”
Mobilku pun telah keluar dari gerbang sekolah dan sekarang sedang terparkir di taman depan SMA Tunas Bangsa. SMA khusus untuk perempuan. Masih satu yayasan dengan sekolahku.
“Lu nungguin siapa sih ? Cewek lu yaahh.” Tanyaku setengah meledek.
“Bukan, dodol. Sejak kapan gue punya cewek !”
“Terus nunggu siapa ? Cewek yang tadi lu temuin yah pas istirahat.”
“Kok tau kalo gue nemuin cewek tadi ?”
“Tau lah, kan lu bilang mau ke SMA sebelah. SMA sebelah kan sekolah cewek, udah pasti lu nemuin cewek. Ahh gimana sih lu !”
“Ohh iya yah gue lupa. Hehe “ dengan wajah polosnya sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatel.
“Mana deh ? Lama banget.”
“Bentar lagi keluar kok. Nah tuh dia anaknya.” Sambil menunjuk ke salah seorang gadis yang sedang berjalan keluar gerbang sekolah.
“Yang itu, Dim ?”
“Iya itu. Bentar yah gue mau ke sana dulu.”
Tak lama Dimas pun kembali ke dalam mobil bersama gadis itu. Gadis yang kemarin ku buat kesal.
“Ehh Do, kenalin nih Nissa biasanya di panggil Icha. Icha, nih Aldo temen gue.” Dimas pun memperkenalkan aku dengan gadis itu.
“Icha.”
“Aldo.” Tak sadar jantungku berdetak dengan cepat saat menjabat tangannya dan melihat matanya. Suaranya pun indah terdengar olehku. Sesaat aku terdiam. Suara Dimas menyadarkanku.
“Wooyy Do, ngapain bengong ? Kapan baliknya nih ?”
“Ehh iya he-eh. Sorry sorry gue bengong. Yaudah kita balik sekarang, tapi mampir dulu yah kita makan dulu, laper nih gue. Gue yang traktir deh.” Sambil menyalakan mobil dan kemudian meninggalkan taman SMA Tunas Bangsa.
Di dalam mobil tak ada pembicaraan, hanya suara music yang terdengar. Ku putuskan untuk membuka pembicaraan. Enggak nyaman rasanya dengan suasana seperti ini. Canggung.
“Dim, Icha siapa lu ? Pacar yah ? Hayo ngaku sama gue !” ledekku setengah tertawa.
“Haahh pacar ?” saut Icha dengan nada sedikit kaget. Namun tak lama terlihat senyum manis darinya yang ku lihat dari kaca depan.
“Ett nih anak ngeyel amat kalo di bilangin. Gue kan udah bilang tadi, gue enggak punya pacar !”
“Lah terus itu siapa ? Ngenalin ke gue cuma namanya doang.”
“Gue adenya Dimas kali.” Seraya senyum itu mengembang di sudut bibir tipisnya.
“Ehh adenya Dimas toh. Cantik. Kok lu enggak bilang-bilang sih kalo punya ade cewek, Dim ?”
“Ngapain gue bilang-bilang, emangnya penting gitu buat lu ? Iyalah cantik, kakaknya aja ganteng.” Jawab Dimas sambil tertawa bangga. Sedangkan Icha hanya tersenyum dengan wajah yang memerah. Senyum yang membuat jantungku kembali berdetak dengan cepat.
“Yeee dasar lu ! Oh iya Cha, gue mau minta maaf nih sama lu.”
“Lho minta maaf ? Emang punya salah apa sama gue ? Kenal aja baru beberapa menit yang lalu.” Tanya Icha yang heran karena aku tiba-tiba langsung minta maaf kepadanya.
“Kemaren baju lu basah kan gara-gara kecpritan air pas lu lagi duduk di bangku taman sekolah.”
“Lho kok lu tau ? Tau dari mana ?” Tanya Icha semakin bingung.
“Nah makanya itu gue minta maaf sama lu, kemaren yang nyepretin air ke lu tuh gue. Tapi gue enggak sengaja, beneran deh. Gue enggak tau kalo ada air di situ. Terus juga bukannya gue enggak mau minta maaf sama lu kemaren, gue buru-buru banget jadi gue cuma berenti bentar langsung pergi lagi.” Jelasku sejelas-jelasnya berharap Icha enggak marah dan mau maafin aku.
“Ohh jadi elu toh yang bikin baju ade gue basah kemaren. Gara-gara lu, Icha kemaren ngamuk di rumah. Orang rumah di diemin sama dia.” Sambar Dimas yang kesal karena di diemin sama Icha kemarin.
“Waduuhh sabar sabar, jangan pake emosi gitu lah, Mas ! Ichanya aja enggak sewot, ehh malah elu yang ngomel ama gue.”
“Ehh udah-udah enggak usah berantem gitu. Iya enggak apa-apa kok, Do tapi lain kali hati-hati kalo bawa mobil.” Jawaban Icha menenangkan hatiku. Ternyata dia enggak marah sama aku. Aku tersenyum.
“Ahh elu mah, De masa maafin Aldo sih ? Kemaren gue di diemin seharian, salah juga enggak sama lu !”
“Hehe maaf deh, Ka maaf. Lu tau kan gimana gue kalo lagi kesel sama orang.”
“Dasar Icha, bisa banget bikin orang enggak jadi marah dengan tampang polos kaya anak kecil gitu.”
Aku hanya tersenyum melihat keharmonisan hubungan kakak beradik itu.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Perkenalanku dengan Icha yang begitu singkat kini telah membuatku menjadi lebih akrab dan dekat. Ada perasaan yang berbeda. Aku jatuh cinta kepadanya. Sejak saat pertama aku melihat wajahnya. “Apakah Icha memiliki perasaan yang sama denganku ?” tanyaku dalam hati.
Jam di kamarku menunjukkan jam 14.30. Ku lihat keluar hujan telah reda setelah satu jam mengguyur bumi ini. Langit pun kembali cerah, matahari keluar dari persembunyiannya. Aku teringat sesuatu. Pelangi. Yaa.. Icha suka sekali dengan pelangi. Segera ku ambil handphoneku yang ku letakkan di meja. Tanganku sibuk mengetik SMS untuk ku kirim ke Icha.
“Cha, langit di luar cerah. Ikut gue yah :)”
“Emg mau kmna?”
“Udh siap2 sna, gue lgi otw krmah lu.”
Langsung ku nyalakan mobil dan meninggalkan garasi rumah. Hari ini aku putuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Dan pelangi yang akan menjadi saksinya. Aku berharap Icha mau menerimaku menjadi pacarnya.
Ternyata Icha sudah siap disana. Dengan celana jeans dan baju hangat panjang. Rambutnya di biarkan terurai. Tak lama Icha telah berada di dalam mobil. Sesaat mobil pun telah meninggalkan halaman rumah Icha.
“Emangnya lu mau ngajak gue kemana sih ?”
“Ke suatu tempat. Pasti lu suka deh. Bentar lagi juga nyampe kok. Tapi ada syaratnya.”
“Kok pake syarat-syarat segala sih, Do ?”
“Hmm syaratnya, mata lu harus gue tutup.”
“Iya deh oke.”
Taman kota sore itu sangat ramai. Banyak muda-mudi yang sedang bersenda gurau disana. Maklumlah, malam ini kan malam minggu. Mobil telah terparkir, mata Icha pun telah tertutup. Aku menuntunnya menuju bangku taman yang kosong itu. Disitulah tempat yang pas untuk melihat pelangi.
“Gue itung sampai 3, baru lu boleh buka mata lu. Oke.” Icha hanya menganggukkan kepalanya ringan. “1…2...3… Lu boleh buka mata lu sekarang.”
“Waahhh… indah banget pelanginya. Gue baru kali ini bisa ngeliat pelangi seindah ini.” Wajah Icha pun terlihat bahagia sekali. Senyumannya menambah manis wajahnya yang cantik.
“Lu seneng ?” Tanyaku menatap wajahnya yang masih memandang pelangi di atas sana.
“Seneng banget, Do ! Makasih yah udah ngajak gue ke sini !”
“Sama-sama kok, Cha. Oh iya Cha, gue pengen ngomong sesuatu sama lu.”
“Ngomong apa ?” Tanya Icha yang penasaran.
Tanganku menggenggam tangannya. “Cha, gue sayang sama lu. Lu mau enggak jadi pacar gue ?”
Ku lihat wajah Icha memerah. Icha menunduk malu. Sepertinya dia kaget karena tiba-tiba aku mengungkapkan perasaanku. “Icha ? gimana mau enggak ?”
Icha mengangguk. “Iya, gue mau kok jadi pacar lu.” Diiringi dengan senyum manis itu lagi.
Aku langsung memeluk tubuhnya. Aku senang mendengar jawabannya. “Makasih yah lu udah mau nerima gue. Gue seneng banget !”
“Iya, gue juga sayang sama lu dari pertama gue kenal lu.” Ujar Icha seraya melepaskan pelukan.
Aku mengusap-usap rambut berponi itu. Senyumnya masih tergambar di sudut bibirnya. Tapi, tiba-tiba saja darah segar keluar dari hidungnya. Wajahnya berubah menjadi pucat.
“Cha, hidung lu kenapa keluar darah gitu ? Muka lu juga jadi pucet. Lu sakit yaahh ?” tanyaku khawatir dengan keadaannya yang mendadak berubah.
“Ahh enggak, gue enggak kenapa-kenapa kok, Do !” jawab Icha sambil membersihkan darah yang keluar dari hidungnya dan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
“Enggak apa-apa gimana ? Lu pucet, Cha. Darahnya juga keluar terus.”
Tiba-tiba Icha pingsan. Aku pun panik. Dengan segera aku bawa Icha ke rumah sakit terdekat dan menghubungi keluarganya.
Icha sedang dalam penanganan dokter di ruang UGD. Aku menunggu di koridor dekat ruang UGD dengan wajah yang sangat khawatir. Tak lama keluarganya pun datang. Ayah dan Bundnya juga Dimas.
“Icha kenapa, Do ? Kenapa Icha bisa masuk rumah sakit ?” Tanya Bundanya kepadaku dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Icha kenapa sih, Do ?” pertanyaan yang sama dengan Bundanya di lontarkan oleh Dimas kepadaku. Dimas cemas begitu juga dengan kedua orangtuanya.
“Aldo juga enggak tau, Tante. Tiba-tiba hidung Icha ngeluarin darah. Aldo pikir cuma mimisan biasa, tapi darahnya keluar terus. Muka Icha jadi pucet terus Icha pingsan gitu aja.” Jelasku apa adanya. Karena aku pun tak tahu kenapa Icha tiba-tiba seperti itu. “Sekarang Icha lagi di tangani oleh dokter, Tante.”
Tak lama dokter pun keluar dari ruang UGD. Orangtu Icha langsung menhampiri Dr. Ivan dan menanyakan keadaan Icha.
“Dok, gimana keadaan Icha ?” Tanya Ayahnya Icha.
“Bapak dan Ibu bisa ikut saya ke ruangan saya.”
Dr. Ivan dan kedua orangtua Icha pun pergi menuju ruangan Dr. Ivan. Entah apa yang akan dibicarakan disana. Aku hanya bisa berdo’a semoga Icha tidak apa-apa.
Tak lama Icha di pindahkan ke ruang perawatan. Dimas dan aku menemani Icha, menunggu Icha sadar. Aku menggenggam tangan Icha erat.
“Do, gimana ceritanya sih Icha bisa masuk rumah sakit gini ?” Tanya Dimas.
“Hmm gue juga enggak tau, Dim. Tadi kan gue cuma ngajak dia buat ngeliat pelangi di taman kota sekalian gue pengen ngungkapin perasaan gue ke dia.”
“Lu nembak Icha, Do ?”
“Iya, gue udah jadian sama dia. Nah pas gue lagi ketawa-ketawa sama dia tiba-tiba hidungnya dia ngeluarin darah. Enggak lama dia pingsan. Yaudah langsung gue bawa ke rumah sakit deh.”
“Awas loh kalo lu berani bikin ade gue sakit hati. Berurusan sama gue !”
Tak lama orangtua Icha datang. Muka mereka tampak sedih dan takut. Melihat muka mereka seperti itu, aku pun ikut merasa takut. Aku takut sesuatu yang buruk menimpa Icha. Apa penyakit Icha sebenarnya ? Apakah sangat parah ?
“Icha sakit apa, Bun ? Kok muka Bunda sama Ayah sedih dan takut seperti itu ? Dr. Ivan bilang apa tentang keadaan Icha ?”
“Icha enggak kenapa-kenapa kok, Dim. Kamu tenang aja. Tapi untuk sementara, beberapa hari ke depan Icha harus banyak istirahat di rumah sakit.” Jawab Ayahnya seraya meyakinkan Dimas dan aku bahwa Icha tidak apa-apa.
Namun perasaan aku tidak enak. Hatiku berkata ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dari aku, Dimas juga Icha. Icha, semoga kamu enggak kenapa-kenapa. Aku sayang kamu.

***

Sudah seminggu lebih setelah Icha diperbolehkan pulang oleh dokter. Keadaan Icha pun telah membaik, tapi masih harus banyak istirahat juga 3x dalam seminggu harus control ke rumah sakit. Selama itu pula hatiku terus bertanya sebenarnya Icha sakit apa. Semakin hari aku semakin takut kalau aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. “Tuhan, tolong jangan Kau ambil dia sekarang. Aku masih membutuhkannya. Aku masih butuh gadis periang dan baik hati seperti dia. Masih butuh gadis yang mampu memberikan warna dalam hidupku. Seperti pelangi yang memberi warna dunia ini setelah hujan deras turun membasahi dunia. Gadis yang sangat aku sayangi.” Pintaku kepada Tuhan.
Hari ini sepulang sekolah aku akan mengantarkan Icha untuk control ke rumah sakit bersama Dimas juga kedua orangtuanya. Sejak Icha sakit, aku jadi ekstra perhatian sama dia, karena aku enggak mau Icha kenapa-kenapa. Orangtuanya pun telah memberi kepercayaan kepadaku untuk menjaga Icha.
Aku duduk di ruang tamu rumah Icha bersama Dimas dan orangtuanya sambil menunggu Icha ganti pakaian. Aku berharap hari ini aku bisa mengetahui sebenarnya Icha sakit apa. Tak lama Icha pun turun dengan pakaian yang serba panjang di tambah syal yang melingkar di lehernya. Kali ini rambutnya diikat.
“Kamu udah siap, Cha ?” Tanya Ayahnya memastikan.
“Iya, Yah. Kita berangkat sekarang aja nanti takut kesorean.”
“Yasudah kita berangkat sekarang aja.” Ujar aku mengiyakan pernyataan Icha.
Mobilku telah meninggalkan halaman rumah Icha yang lumayan luas dan rindang. Jalan kota agak sedikit licin karena hujan baru saja berhenti. Aku mengendarai mobilku dengan sangat hati-hati. Tak banyak perbincangan selama di perjalanan. Hanya senyum yang ku lihat dari bibir Icha. Senyum yang seakan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
Akhirnya sampai juga di rumah sakit setelah perjalanan kurang lebih satu jam. Icha dan kedua orangtuanya langsung menuju ruangan Dr. Ivan. Sedang aku dan Dimas menunggu di ruang tunggu.
“Dim, lu ngerasa ada yang aneh enggak sama orangtua lu waktu habis dari ruangan Dr. Ivan tempo hari yang lalu ?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Hmm iya sih, Do. Kayanya ada yang mereka sembunyiin deh soal kesehatan Icha. Kalo emang Icha enggak apa-apa, kenapa mesti control 3 kali dalam seminggu ?”
“Kira-kira Icha kenapa yah, Dim ? Gue takut nih.”
Ayah Icha keluar dari ruangan Dr. Ivan dan meminta aku dan Dimas untuk masuk. Hatiku berdegup kencang. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi. Aku masuk dengan tangan yang gemeteran.
“Nah, kalian semua sudah berkumpul disini. Saya ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian. Terutama untuk Icha, Aldo juga Dimas. Tapi, saya mohon untuk tetap tabah setelah mendengar kabar dari saya.” Jelas Dr. Ivan dengan gaya dokter yang bijaksana.
“Emangnya ada apa sih, Dok ?” Tanya Dimas penasaran.
“Baiklah kalau begitu. Sebenarnya Icha mengidap penyakit leukimia stadium 4.”
“Apa ? Leukimia ?” aku dan Dimas tersentak kaget mendengar ucapan dokter. Sedangkan Icha hanya menatap Dr. Ivan dengan tatapan kosong. Air mata menetes di pipi Icha.
“Dokter bohong kan !? Enggak mungkin Icha bisa terkena leukimia !” Bantah aku yang tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
“Saya tidak bohong. Icha positif mengidap leukimia.”
Kakiku lemas. Aku terjatuh. Air mataku menetes, tak percaya bahwa gadis yang sangat aku cintai menderita penyakit yang begitu parah. Dimas berusaha menenangkan aku. Icha menggenggam tanganku erat.
“Aku enggak apa-apa kok. Kamu tenang aja yah, jangan sedih gitu.” Aku tak kuasa mendengar ucapan Icha barusan. Aku hanya bisa memeluknya.
Hening. Tak ada suara di ruangan itu. Hanya isak tangis Bundanya yang terdengar. Sedang aku masih erat memeluk Icha.

***

Semakin hari keadaan Icha semakin memburuk. Icha menolak untuk menjalani chemoteraphy. Karena menurutnya percuma saja menjalani chemoteraphy bila pada akhirnya cepat atau lambat dia harus pergi. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya berusaha membuatnya kuat. Icha memang seorang gadis yang tegar. Dia tidak pernah mengeluh dengan apa yang saat ini dia alami. Penyakit leukimia tidak pernah membuat dia menjadi seorang yang lemah. Icha tetap menjadi Icha yang biasanya. Tetap menjadi gadis yang periang, baik hati, ramah juga tetap memberi warna di kehidupan orang-orang di sekitarnya.
“Aldo.” Suara Icha menyadarkan aku dari lamunan.
“Eh Icha udah sadar ? Jangan banyak gerak dulu yah.” Pintaku. Icha kembali masuk rumah sakit, setelah kemarin kondisinya sangat buruk.
“Tadi kamu lagi ngelamunin apa sih ?”
“Hmm enggak kok, aku enggak ngelamunin apa-apa. Gimana, udah enakan badannya ?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya, aku udah enakan kok. Dari semalem kamu disini nemenin aku, Do ?”
“Iya aku dari semalem disini nemenin kamu. Tadinya sih Bunda kamu nyuruh aku pulang, tapi aku enggak mau. Aku pengen nemenin kamu disini.”
“Makasih yah, Do. Aku jadi enggak enak sama kamu, jadi ngerepotin kamu.”
“Sssstttt… Jangan ngomong kaya gitu lagi yah. Aku sayang kamu. Aku tulus kok nemenin kamu disini.”
Seutas senyum tergambar disana. Senyum manja yang sangat aku sukai. Semakin erat genggamanku. Aku mencium keningnya yang tertutupi oleh poni.
Tiba-tiba Dimas datang.
“Ciieee mesra banget sih pasangan yang satu ini.” Ledeknya.
“Kalo dateng ketok pintu dulu kek, kalo enggak ngasih salam. Ini mah main nyelonong masuk aja, pake segala ngeledek pula.” Protes aku yang merasa terganggu. Hehe
“Gimana Cha, udah baikan ?”
“Udah kok, Ka. Ayah sama Bunda mana ?”
“Ayah sama Bunda nanti nyusul. Katanya sih sekarang lagi di jalan.”
“Ohh iya, guru nanyain gue enggak, Dim ?”
“Iya nanyain, terus gue bilang aja bolos. Weeee..!!” jawab Dimas seraya terus meledekku.
“Ahh elu mah Dim, gitu sih sama temen. Ehh salah sekarang udah jadi ade ipar. Hahaa”
“Diihh ogah deh gue punya ade ipar kaya lu !”
“Issh kalian berdua apaan sih, malah ribut enggak jelas kaya anak kecil gitu.” Protes Icha heran.
“Hehehe bercanda doang, Cha. Yaudah kamu istirahat aja sana. Si Aldo biar sama gue dulu, enggak boleh gangguin ade gue istirahat.” Seraya menarikku keluar kamar perawatan Icha.
“Iya Cha, kamu istirahat aja. Aku sayang banget sama kamu.” Setengah berteriak setelah Dimas berhasil menarikku keluar.

***

Tuhan…
Mungkin umurku tidak lama lagi
Tapi jika memang bisa
Biarkan aku hidup sampai musim hujan ini berakhir
Aku ingin melihat pelangi untuk yang terakhir
Biarkan aku memberi warna untuk orang-orang yang aku sayangi untuk terakhir kalinya
Sebelum nanti pelangilah yang akan menggantikan aku

Terima kasih untuk Bunda dan Ayah
Yang telah merawat dan membimbingku sampai aku bisa seperti ini
Terima kasih untuk Kakak yang paling aku sayangi, Dimas
Yang telah menjaga dan mengerti aku dengan tulus
Terima kasih untuk Aldo
Yang telah menyayangi aku dan menguatkan aku disaat aku jatuh
Terima kasih untuk semuanya
Tanpa kalian aku bukanlah siapa-siapa

Tapi, ku mohon kepada kalian
Jika saat itu tiba, jangan ada tangis yang mengantarkan kepergianku
Aku mau kalian semua tersenyum
Seperti pelangi yang selalu muncul saat hujan reda
Kembali memberikan warna setelah awan mendung memberikan hujan

Icha sayang sama kalian semua :)

Tak sengaja aku membaca tulisan tangan Icha. Air mataku menetes membaca tulisan itu. Ternyata ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan. Aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. Kehilangan sosok gadis yang sangat periang. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Aku enggak boleh sedih, karena Icha pun tak pernah terlihat sedih sedikit pun.
Hari ini hujan turun sangat deras. Kamar rawat Icha terasa sangat dingin, padahal AC tidak menyala. Aku memandang keluar melalui jendela kamar rawat. Mungkinkah ini adalah hujan terakhir ? Apa mungkin ini adalah hari terakhir pula Icha dapat melihat pelangi ? Aku menghela nafas panjang.
Aku duduk di sofa dekat tempat tidur Icha. Saat ini Icha sedang tertidur setelah tadi dia minum obat. Aku membuka laptopku. Tanganku mulai asyik mengetik. Aku menuangkan semua isi di kepalaku. Aku menulis cerita tentang Icha dan jalan cerita cinta aku dengannya.
Hujan pun reda. Tak lama kemudian Icha terbangun.
“Aldo.”
“Ehh udah bangun toh kamu. Pas banget hujan baru aja reda.”
“Emang tadi hujan yah ?”
“Iya tadi hujan, tapi sekarang udah reda. Gimana keadaan kamu ? Aku mau ngajak kamu keluar. Kebetulan langit lagi cerah tuh, mataharinya muncul.”
“Hmm aku udah baikan kok.”
“Yaudah aku ngambil kursi roda dulu yah, sekalian minta izin sama dokter juga sama orangtua kamu.”
Setelah memohon-mohon kepada dokter dan orangtua Icha, akhirnya aku di perbolehkan untuk membawa Icha jalan-jalan menikmati suasana sore sehabis hujan. Entah mengapa aku merasa kalau ini adalah saat terakhir aku bersamanya, saat terakhir Icha dapat melihat pelangi.
Aku menuntunnya menaiki kursi roda. Membawanya keluar rumah sakit. Aku ingin membawanya ke taman kota, tempat pertama kali aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tempat dimana pertama kalinya Icha melihat pelangi dengan indah. Untung saja rumah sakit tempat Icha dirawat tidak terlalu jauh dari taman kota.

***

Rumput taman basah karena baru saja terguyur air hujan. Langit sore itu tidak begitu cerah. Masih ada sisa-sisa awan mendung yang berdiam disana. Tercipta beberapa warna indah yang membentuk setengah lingkaran di atas langit.
Aku duduk berdua dengannya di bawah biasan warna pelangi yang begitu indah. Kulihat Icha sangat menikmatinya. Senyum yang sama saat pertama kali aku mengajaknya kesini. Tak banyak kata yang terucap antara aku dengannya. Tanganku merangkul Icha dari belakang. Dan Icha mengenggam tanganku begitu eratnya.
“Indah yah pelanginya, Do.” Seru Icha dengan suara yang lirih namun tetap dengan senyumannya yang khas.
“Iya pelanginya indah. Sama seperti kamu, Cha. Buat aku, kamu adalah pelangi yang mampu memberikan warna untuk hidupku. Aku begitu sangat sangat menyayangimu.”
“Aku juga sangat menyayangimu, Do.”
Perlahan warna pelangi itu memudar dan terus memudar hingga akhirnya menghilang. Genggaman erat tangan Icha terlepas dari tanganku. Aku menangis. Aku tahu bahwa Icha telah pergi bersama pelangi itu. Yang tersisa hanya biasan warna orange langit senja.
Selamat tinggal Icha. Terima kasih telah memberikan warna terindah didalam hidupku. Cintamu akan selalu ku kenang dalam hati.